. Ulumul Hadits: Masa Prakodifikasi Dan Kodifikasi Hadits
A. PENDAHULUAN
Sejarah
pembinaan dan penghimpunan hadits di antara ulama ada perbedaan pendapat dalam
menyusun periodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadits. Ada yang membaginya
kepada tiga periode saja, seperti masa Rasulullah Saw, sahabat, penyeleksian hadits,
serta masa sesudahnya. Sahabat membaginya pada periodesasi yang lebih
terperinci sampai 5 atau 7 periode dengan spesialisasi tertentu. Adapun yang
perlu diuraikan secara khusus pada pembahasan di sini ialah masa prakodifikasi
dan masa kodifikasi.
Sejarah pengumpulan dan penulisan Hadits dan
ilmu Hadits telah melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW,
sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III
Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadits yang telah berusaha dengan keras dalam
melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadish, mana yang soheh dan mana yang da’if, telah
menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam
berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah
penelusuran Hadits. Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu
tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu Hadits.
Namun, karena pembukuan Hadits baru bisa di
lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak Hadits
yang dipalsukan, maka keabsahan Hadits-Hadits yang beredar di kalangan kaum
muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.
B.
PEMBAHASAN
Kodifikasi adalah usaha pengumpulan
dan pembukuan hadits secara resmi di bawah komando seorang khalifah dalam
bentuk sebuah buku (mushab) yang dihimpun dari berbagai sumber dari para
penghafal dan penulis hadits sejak masa Rasulullah SAW, sahabar dan tabiin yang
keberadaannya bertebaran di berbagai wiayah.
Apabila memperhatikan perjalanan
kodifikasi hadits sejak masa Rasulullah SAW hingga saat ini maka dapat
dikatakan bahwa masa itu dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
prakodifikasi dan kodofikasi.
1.
Masa
Prakodifikasi
Masa prakodifikasi adalah periode pertama sejarah pertumbuhan dan
perkembangan hadits. Masa ini hanya berlangsung lebih kurang 23 tahun yaitu mulai
tahun 11 sebelum hijriah-11 hijriah (610 – 632 M) masa ini merupakan kurun
waktu turun wahyu (ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai, masa pertumbuhan
hadits. (Sohari, 2010:45)
a.
Masa
Nabi Muhammad Saw
Pada
masa Nabi Muhammad Saw, cara bela menyampaikan hadits ada 4, yaitu :
·
Melalui
para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-`ilmi.
·
Melalui
para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya
kepada orang lain.
·
Melalui
ceramah atau pidato di tempat terbuka.
·
Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabat-sahabatnya (jalan
musyahadah).
b.
Masa
Sahabat
Periode
ke-2 sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat. Pada masa sahabat besar,
perhatian mereka masih terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur`an.
Dengan demikian, maka keriwayatan hadits belum begitu berkembang, bahkan mereka
berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut, oleh karena itu, masa ini oleh
para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau
memperketat periwayatan (at-tsabut wa al-iqlal ar-riwayah).
2.
Masa
Kodefikasi
Kodefikasi atau yang disebut dengan taswin hadits, artinya
pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadits. Cara individual, seperti
diuraikan oleh para sahabat sejak zaman Rasul Saw. Kegiatan ini di mulai pada
masa pemerintahan islam di pimpin oleh khalifah Umar bin Abd al-Aziz (khalifah
kedelapan dari kekhalifahan bani umayah), melalui intruksinya kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Hazm (gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar
memperlihatkan dan mengumpulkan hadits dari para ulama Madinah ialah, yang berbunyi:
اُنْظُرُوُاحَدِيْثَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَي الله عليه وسلم
فَقْتُبُوْهُ فَاِنّي خِفْتُ دُرُوْسَ الْعِلْمِ وَذِهَابِ اَهْلِهِ (وَفِي
رِوَايَةٍهَابِ الْعُلْمَاءِ) وَلَاتُقْبَلُ إِلَّاحّدِيثَ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلّمُ
“Perhatikan
atau periksalah hadits-hadits Rasul Saw., kemudian tulislah! Aku
khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ahlinya.( menurut suatu
riwayat disebutkan meninggalnya para ulama). Dan janganlah kamu terima, kecuali
hadits Rasul Saw.
Maka
dari itu khalifah mengintruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm (w.117
H) agar Amrah bin Abdurrahman al-Anshari (w. 98), murid kepercayaan Syihab
Az-Zuhri (w. 124 H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui
hadits daripada yang lainya untuk menuliskan hadits. Para ulama di masanya
memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadits-hadits niscaya
sudah banyak yang hilang.
Pada masa
kodifikasi, terdapat beberapa periode. Yaitu kodifikasi pada Periode I, II, III, IV, V, VI, Sampai Sekarang.
a.
Periode Abad I
(Periode Tadwin)
Terjadi pada masa Khalifah Umar Ibn Abd al-Aziz pada
tahun 99 H. Alasan beliau membukukan hadits ialah:
·
Para perawi
yang membendaharakan hadits akan semakin tua dan wafat, dan meninggalnya para
ulama dimedan perang.
·
Kekhawatiran
akan tercampurnya hadits palsu dan hadits shahih.
·
Semakin
meluasnya wilayah Islam, sementara kemampuan para thabi`in yang di utus ke
wilayah baru tidak sama.
Cara pengumpulan hadits:
·
Mengirimkan
surat kepada seluruh gubernur untuk membukukan hadits yang ada pada ulama di
wilayahnya masing-masing.
·
Meminta Abu
Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Hazm membukukan hadits. Kitab hadits ini kitab
pertama yang di tulis pada masa kodifikasi. Akan tetapi kitab ini tidak terpelihara
dan hilang musnah. (Uswatun H, 2012:46).
b.
Periode Abad
II
Periode ini disebut juga periode seleksi. Pada masa
pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ulama pada periode ini menyempurnakan misi
para ulama pada abad pertama. Para ulama pada abad pertama dan awal abad ke-2
membukukan hadits masih bersifat lokal dan tidak menyaringnya.
Cara pengumpulan hadits:
·
Membukukan
hadits dan juga fatwa para sahabat dan thabi’in secara bersama
·
Pada ujung
abad ke-2 kitab disusun dengan cara memisahkan antara hadits dan fatwa.
·
Melakukan
perlawatan untuk mencari dan mengumpulkan hadits.
c.
Periode Abad III
Periode ini ialah periode mentashihkan dan menyusun
kaedah-kaedahnya. Pada masa abad ke-2 para ulama belum membedakan kualitas
hadits. Mereka masih mencampurkan hadits yang berkualitas sahih dan hadits yang
berkualitas dhaif. Segala hadits yang mereka terima, mereka dewankan dan tidak
menerangkan hadits itu sahih atau dhaif.
Cara mengumpulkan hadits:
·
Pengumpulan
hadits diawali dengan meluaskan daerah yang di kunjungi untuk mencari hadits,
yang dilakukan oleh Bukhari. Dia pergi ke daerah Naisabur, Rei, Baghdad,
Basrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyiks, Qaisariyah, Himmsah, dan
`Asqalan.
·
Kemudian mengumpulkan
dan menyaring hadits yang didapat yang dianggap sahih.
·
Dibukukan
dalam kitab. Kitab milik Bukhari bernama Jami`us Shahih, kemudian uasahanya
di susul oleh muridnya Muslim dengan kitabnya yang dikenal dengan Sahih
Muslim, (Uswatun H, 2012:50).
Setelah
periode ini, muncul periode mengisnadkan hadits. Kalau pada abad pertama,
kedua dan ketiga, hadits berturut-turut mengalami masa periwayatan, penulisan
(pendewanan) dan penyaringan dari fatwa-fatwa para shahabat dan tabi’in, maka
hadits yang telah dikodifikasikan oleh ulama Mutaqaddimin (Ulama abad kesatu sampai ketiga) tersebut mengalami sasaran baru,
yakni dihafal dan diselidiki sanadnya oleh ulama muta-akhirin (ulama abad keempat dan
seterusnya)( Noor Sulaiman ,2008 :72)
d.
Periode Abad
IV
Ahli hadits pada abad ke-3 hanya berusaha mentahdzibkan
kitab-kitab yang telah ada, menghafal dan memeriksa sanad yang ada dalam kitab.
Dan dimulai periode abad ke-IV hingga abad VI H ini disebut juga dengan masa
Tahdzib, Istidrak, Istikhraj, menyusun jawami’, Zawa’id dan Athraf.
Pada abad ini ulama berfikiran untuk mencukupi riwayat
hadits dengan kitab-kitab yang telah ada.
Cara pengumpulan hadits:
·
Memperbaiki
susunan kitab
·
Mengumpulkan
dan memudahkan jalan pengambilan hadits, seperti mengumpulkan hadits-hadits
sahih, hadits-hadits hukum dan hadits-hadits targhib dalam satu kitab.
Abad keempat ini adalah abad pemisah antara
ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Yang mana ulama-ulama pada abad ke-2 dan
ke-3 digelari dengan ulama mutaqaddimin, setelah abad ketiga berlalu bangkitlah
pada abad ke-4,5,6 dan seterusnya, yang para ahli pada abad ini digelari dengan
ulama mutaakhirin. yang dalam penyusunan kitab Hadits mereka berusaha sendiri
menemui para sahabat atau tabi’in penghafal Hadits kemudian meneliti sendiri
dengan ulama mutaakhirin yang usahanya menyusun kitab-kitab Hadits, mereka
hanya menukil dari kitab-kitab ulama mutaqaddimin.
e.
Periode Abad V, VI,, dan Modern
Usaha ulama ahli Hadits pada abad V dan
seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun
hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam
kitab hadits. di samping itu mereka pada men-syarahkan (menguraikan
dengan luas), dan meng-ikhtishar(meringkaskan) kitab-kitab hadits yang
telah disusun oleh ulama yang mendahuluainya. Yang mana usaha Kodifikasi Hadist
periode ini bertepetan Pada Tahun 656 Hijriah Sampai Sekarang.
Periode
ini juga dimulai bersamaan dengan jatuhnya Dinasti Abbasiyah di bawah kekuasaan
kerajaan Tartar pada tahun 656 H, dan diambil alihnya Daulah Ayyubiah di Mesir
oleh dinasti Malik, tepatnya pada akhir abad ke 7 sampai abad modern.
Kebanyakan
gerakan kelembagaan hadist pada periode ini, antara tokoh dan bentuk
aktifitasnya, dikaji melalui studi wilayah. Karena meskipun kelahirannya tidak
terputus dengan latar belakang, ide-ide, serta motivasi periode sebelumnya,
namun masih adanya situasi lain bersifat teritorial yang melatarbelakanginya.
Lebih
jauh lagi pada masa yang bersamaan dengan abad modern, hampir diseluruh penjuru
dunia, tidak terbatas di duina islam semata-mata bahwa kajian hadist Nabi SAW
semakin intens. Kajian tersebut tentunya masuk dalam era kontemporer, bahkan
beranjak menuju paham positivisme. Para sarjana yang lahir pada abad ini tidak
membatasi kajian maupun karya-karya di bidang materi ajaran dalam hadist
semata, melainkan juga prinsip sistem periwayatan hadist dan aspek
metodologinya.
Oleh karena itu,
lahirlah kitab-kitab Hadits hukum; seperti :
1.Sunan al-Kubra, karya Abu Bakar Ahmad
bin Husain Ali al-Baihaqy (384-458 H).
2.Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin
al-Harrany (w 652 H).
3.Nailu al-Autar, sebagai
syarah dari kitab Muntaqa al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172-1250 H).
Kitab-kitab Hadith Targhib
wa al-Tarhib, seperti:
1.
Targhib wa al-Tarhib, karya
Imam Zakiyu al-Din Abdu al-Adzim al-Mundziri (w 656 H).
Dalilu al-Falihin, karya Muhammad Ibn ‘Allan Al-Siddiqy (w 1057
H), sebegai Syarah kitab Riyadu al-Shalihin, karya Imam Muhyid al-Din Abi
Zakariya al-Nawawi.
Selanjutnya bangkit ulama ahli Hadits yang berusaha
menciptakan kamus Hadits untuk mencari pentakhrij suatu Hadits atau untuk
mengetahui dari kitab Hadits apa suatu Hadits itu didapatkan, seperti:
1.Al-Jami’ al-Shaghir fi AHadithi al-Basyiri
al-Nadzir, Karya Imam Jalalu al-Din al-Suyuty (849-911 H).Kitab ini
mengumpulkan haidts-Hadits yang terdapat pada Kutub al-Sittah dan lainnya, dan
selesai ditulis tahun 907 H.
2.Dakhair al-Mawarith fi al-Dalalati ‘ala
Mawadli’i al-AHadith, karya Al-Alamah al-Sayyid Abdu al-Ghani al-Maqdisy
al-Nabulisy.di dalamnya terkumpul kitab Athraf (Shahih Bukhary-Muslim, sunan empat dan
Muwatta’ ).
3.Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadli al-Hadith
al-Nabawy, karya Dr.A.J Winsinc dan Dr.J.F Mensing, selesai tahun 1936 M.
4.Miftah kunuzi al-Sunnah, karya
Dr.Winsinc, berisikan Hadits-Hadits yang terdapat 14 macam kitab Hadits,
dicetak pertama tahun 1934 di mesir.
Dengan demikian dari sekian banyak kitab-kitab
hadits yang ditulis, lahir pula kitab-kitab syarah yang besar-besar seperti Fah
al-Barr, Umdatul Qari dan Irsyadus Sari. Selajutnya terus-menerus
berkembang hingga sampai masa abad modern semakin perhatiannya para ulama
terhadap hadits. Tidak hanya kitab hadits yang disusun dan disempurnakan akan
tetapi dari abad ke abad segala yang berkaitan dengan hadits semakin menjadi
menarik dan berkembang.
C.
KESIMPULAN
Sebenarnya, penulisan Hadits Nabi telah
dilakukan semasa Rasulullah masih hidup oleh beberapa Sahabat. Hanya saja,
penulisan itu tidak begitu banyak atau menyeluruh dan belum dibukukan. Para
sahabat generasi awal, selain bersandar pada tulisan yang ada, juga berpegang
pada ingatan dan hafalan mereka. Pembukuan Hadits secara resmi dimulai pada
masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjelang akhir abad pertama hijriyah.
Sesudah itu, pembukuan dan penulisan Hadits melewati beberapa proses yang
semuanya bertujuan mencapai kesempurnaan dan penjagaan atas keaslian
Hadits-Hadits tersebut. Karenanya, sangatlah tidak pantas kalau kaum muslim
meragukan keshahihan Hadits-Hadits yang telah dikumpulkan dan dibukukan dalam
kitab-kitab Hadits yang terkenal. Sebab penulisan dan pembukuan Hadits
dilakukan dengan hati-hati.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hasanah,
Uswatun dan Anwar. 2012 Ulum al-hadits. Palembang: Grafika Telindo.
Sulaiman, Noor. 2008. Antologi
Ilmu Hadith. Jakarta:Gaung Persada Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar